Selasa, 27 Desember 2011

Masa Pra Kemerdekaan


SEJARAH PERTEMPURAN LAUT DAN OPERASI LINTAS LAUT DI INDONESIA
Masa Pra Kemerdekaan.
1.                Pertempuran Laut Selat Malaka.
Kolonialis Eropa yang pertamakali dihadapi oleh bangsa Indonesia pada masa pra kemerdekaan, adalah Kerajaan Portugis. Setelah Portugis, Kerajaan   Inggris dan Belanda merupakan kolonialis Eropa berikutnya yang berusaha menguasai Indonesia. Namun, kolonialis yang mampu bertahan lama di Indonesia, justru Kerajaan Belanda yang kemudian mendirikan Koloni Hindia-Belanda. Portugis menjadikan wilayah-wilayah strategis dan berpotensi ekonomis di Indonesia sebagai sasaran penguasaannya setelah berhasil menaklukkan Kesultanan Malaka di Semenanjung Melayu tahun 1511. Tindakan Portugis tersebut memancing reaksi keras dari beberapa kerajaan nusantara dan yang paling konfrontatif, adalah Kesultanan Demak, yang mengirimkan armada kapal perang pimpinan Pati Unus, Adipati Jepara, untuk menyerang Portugis di Malaka. Armada kapal perang Pati Unus terdiri atas 100 kapal, yang terdiri atas jenis jung (kapal layar Cina yang memiliki bobot antara 400-800 ton), lancaran dan pangajawa, serta sekitar 12 prajurit gabungan Demak, Semarang, Jepara, Lasem, Cirebon dan Palembang. Sementara Armada Portugis yang bertugas mempertahankan Malaka berkekuatan 19 kapal jenis galleon yang berbobot 1000 ton dan membawa 700 prajurit. Pertempuran laut sengit terjadi antara Armada Portugis dengan Armada Pati Unus pada tanggal 1 Januari 1513 yang berakhir dengan kekalahan Armada Pati Unus. Kekalahan tersebut lebih didasari oleh keunggulan teknologi keangkatanlautan Portugis, antara lain jangkauan tembakan meriamnya lebih jauh dari meriam Demak. 

2.         Pertempuran Laut Teluk Sunda Kelapa.
Dalam rangka mencegah Portugis di Malaka menjalin persekutuan dengan Kerajaan Hindu Pajajaran yang memiliki pelabuhan strategis bernama Sunda Kelapa (sekarang, Jakarta), maka Demak kemudian mengirim armada kapal perang ke Sunda Kelapa di bawah pimpinan Fatahillah atau Faletehan, yang terdiri atas 20 kapal jenis lancaran dan pangajawa, serta 1500 prajurit pada bulan Februari 1527. Di perairan Teluk Sunda Kelapa, berkobar pertempuran laut antara Armada Pajajaran dengan Demak, yang dimenangkan oleh Demak. Kekalahan Armada Pajajaran mengawali kejatuhan Kota Pelabuhan Sunda Kelapa ke tangan Fatahillah. Armada Portugis yang terdiri atas 6 Galleon dan 600 prajurit tidak mengetahui kejatuhan Sunda Kelapa ke tangan Demak, sehingga terus bergerak memasuki perairan yang sebelumnya milik Pajajaran tersebut. Mengetahui  kehadiran Portugis, Fatahillah segera memerintahkan penyerangan dan berkobarlah pertempuran laut di Teluk Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Dalam pertempuran tersebut, sebuah kapal perang Portugis berhasil ditenggelamkan setelah dihujani tembakan meriam dan lontaran bola api dari kapal-kapal Demak yang didukung pertahanan pantainya. Kemenangan Fatahillah berkat kemampuan kapal-kapal perangnya yang walau kecil namun mampu bermanuver dengan lincah di perairan dangkal, serta terlatih untuk pertempuran pantai. Fatahillah menghindari pertempuran di laut terbuka karena menyadari kemampuan meriam Portugis yang lebih unggul.

3.         Perlawanan Armada Laut Kesultanan Aceh.
Kesultanan Aceh pada abad ke-16 telah menjadi ancaman bagi Portugis di Malaka dalam mewujudkan ambisinya menguasai nusantara. Meskipun kalah dalam teknologi persenjataan dan ukuran kapal (seukuran lancaran dari Jawa), namun AL Aceh mampu memberikan perlawanan sengit terhadap Portugis di perairan Selat Malaka. C.R. Boxer dalam tulisannya di Journal of South East Asian History mengatakan, selama berabad-abad armada kapal perang Aceh yang berhasil membuat Selat Malaka menjadi tidak aman bagi Portugis. Kapal-kapal AL Aceh yang kecil, lincah,  mampu bermanuver di perairan dangkal dan mampu bersembunyi dengan baik di pulau-pulau sekitar Selat Malaka ternyata efektif dalam mengimbangi kapal-kapal perang Portugis yang berukuran besar dan diperlengkapi persenjataan termodern di abad ke-16. 

4.         Perang Laut Di Maluku.  
Pada awalnya Portugis diterima dengan baik di Maluku, bahkan diizinkan membangun kantor dagang dan perbentengan di kawasan kepulauan tersebut. Namun hubungan harmonis tersebut terganggu ketika penguasa Benteng Portugis Saint John di Ternate, yaitu Antonio de Brito, mencegat armada kapal dagang jung yang hendak berniaga cengkeh dengan Kesultanan Tidore. Sebuah galleon Portugis ditenggelamkan oleh kapal-kapal AL Tidore sehingga pecah perang terbuka antara Tidore dengan Portugis di Maluku. Dalam peperangan itu, Tidore dibantu Spanyol sedangkan Portugis dibantu Kesultanan Ternate. Namun karena penindasan dan praktek monopoli yang diterapkan oleh Portugis  terhadap rakyat Ternate berakibat berakhirnya persekutuan Portugis dengan Ternate.   Sementara itu guna menghadapi armada Portugis dalam pertempuran di laut, Tidore mengerahkan armada kapal perangnya dari jenis Kora-kora yang ternyata bukan tandingan kapal-kapal perang musuh. Ketika pengaruh Portugis dan Spanyol mulai memudar di Maluku, munculah kolonialis Eropa yang lain, yaitu Kerajaan Belanda. Dalam upayanya menguasai nusantara, Belanda membentuk Kongsi Dagang Hindia Timur atau VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie). Di Maluku, selain menghadapi lawan-lawannya sesama kolonialis Eropa, VOC juga harus menundukkan kerajaan-kerajaan nusantara sehingga dapat memperoleh monopoli perdagangan cengkeh dan rempah-rempah sekaligus menguasai seluruh nusantara.

5.         Gerilya Laut Mataram.
Setelah Kesultanan Mataram gagal menaklukkan VOC di Batavia tahun 1628 dan 1629, maka strategi pertempuran di laut dari AL Mataram dirubah. Galangan kapal Mataram di Jepara diperintahkan membuat kapal-kapal baru yang berukuran kecil, lincah dan mampu bermanuver di perairan dangkal sekitar pantai. Berbekal kapal-kapal perang inilah Mataram antara tahun 1630-1634 berhasil membuat perairan antara Banten-Batavia menjadi tidak aman dengan taktik gerilya lautnya, berupa serangan-serangan kecil mendadak (hit and run).

6.         Perang Laut Di Makassar.
Upaya VOC untuk menguasai kawasan timur nusantara di abad ke-16 hingga 17 menghadapi perlawanan hebat, antara lain oleh Kesultanan Gowa sebagai salah satu kerajaan maritim yang terkuat di perairan antara Sulawesi-Kalimantan-Maluku-Jawa. Guna melemahkan kekuatan maritim Gowa, VOC melancarkan taktik blokade dan penghadangan terhadap kapal-kapal yang akan berniaga di Gowa atau keluar Gowa. Namun, armada VOC ternyata menemui kesulitan untuk mengejar atau mencegat kapal-kapal Makassar, karena kemampuannya bermanuver di perairan dangkal dekat pantai atau diantara karang-karang, sementara kapal-kapal VOC tidak dapat melakukannya selain di perairan dalam.  Salah satu pertempuran laut yang penting sepanjang konflik Makassar-VOC, adalah penghadangan Armada VOC di perairan Buton oleh 450 kapal perang Gowa yang membawa 15.000 prajurit. Dalam penghadangan tersebut, Armada Gowa berhasil dikalahkan VOC yang lebih unggul persenjataannya. Serial perang laut yang pernah digelar oleh bangsa Indonesia sepanjang periode Pra Kemerdekaan, menurut Sejarah Nasional Indonesia Jilid III terbitan Balai Pustaka (1984) telah membuat bangsa Indonesia mulai memikirkan tentang peningkatan kualitas armada kapal perangnya dan taktik perang laut yang tepat guna mengimbangi kemampuan manuver serta teknologi persenjataan pihak kolonialis. Hancurnya potensi maritim dan pertikaian internal telah mendorong bangsa-bangsa di nusantara untuk berada di bawah kekuasaan Kolonial Hindia Belanda. Bangsa Indonesia yang pernah memegang hegemoni di lautan dan terkenal sebagai bangsa pelaut pupus sudah. Kekuasaan Hindia Belanda baru berakhir ketika bala-tentara Kekaisaran Jepang menduduki Indonesia tahun 1942 yaitu pada masa berkecamuknya Perang Pasifik (1941-1945).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar